Resensi Novel : Moga Bunda Disayang Allah
Judul : Moga Bunda Disayang Allah
No. ISBN : 979321079-b
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tempat terbit : Jakarta
Tebal buku : v + 246 halaman
Cetakan ke- : 7
Tanggal Terbit : April 2010
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi (PxL) : 20,5 x 13,5 cm
Text Bahasa : Indonesia
Harga : Rp 50.000,00
Buku
moga bunda disayang allah diangkat dari salah satu kisah nyata paling
mengharukan dan ditulis kembali dari salah satu film terbaik sepanjang
masa. Buku ini merupakan salah satu karya Tere Liye yang tidak hanya mengharubirukan perasaaan namun juga sarat makna.
Buku ini bercerita tentang anak-anak bernama
Melati yang terlahir sangat lucu menggemaskan, rambut ikalnya
mengombak, pipinya tembam seperti donut, matanya hitam legam seperti
biji buah leci dan giginya kecil bak gigi kelinci. Dia adalah anak
seorang terpandang di daerah tersebut. Keluarganya sangat menyayangi
Melati. Dibalik kesempurnaan itu melati memiliki penderitaan yang tidak bisa disembuhkan.
Kisah dimulai ketika Melati tiba-tiba mulai
buta total, dan tuli total sebelum anak-anak itu sempat mengenal benda,
mengenal dunia, mengenal kata-kata bahkan belum mengenal Penciptanya.
Doa dan harapan terus dipanjatkan, berpilin menuju angkasa mengharap
dikabulkan Sang Maha Kuasa. Namun asa jauh dari kenyataan, dan ketika
semua telah mencapai titik jenuhnya. Allah terus menunjukkan kasih
sayangnya.
Perjuangan Melati dimulai setelah Bunda
menemukan Pak Guru Karang. Karang merupakan pemuda yang tidak punya
background pendidikan. Namun dia memiliki sesuatu yang bahkan tidak
setiap orang dengan background pendidikan memilikinya. Dalam buku ini,
Karang diceritakan mampu ikut merasakan perasaan anak-anak yang berdiri
di depannnya. Di dekatnya dan dengan sentuhannya yang pandai
menyenangkan anak-anak, Karang mampu berempati dengan sangat dalam pada
apa yang dirasakan Melati. Melati hanya melihat gelap, hitam kosong
tanpa warna. Melati hanya mendengar senyap sepi, tak ada nada.
Perjuangan belajar seorang buta tuli ini
tidak mudah karena diajar oleh seorang yang juga sedang bermasalah
dengan kenangan masa lalunya. Karang yang pencinta anak-anak, pemilik
ratusan buku taman bacaan di ibukota ini pernah mengalami kecelakaan di
laut hingga menewaskan 18 orang dan juga Qintan murid kesayangannya.
Perasaan bersalah itu menjadikannya hilang arah. Bukan hanya doa Bunda yang terkabul, namun
doa Ibu-Ibu Gendut itu juga terkabul. Bukan hanya Melati yang mengenal
dunia dan Penciptanya, namun Karang pun bisa berdamai dengan masa
lalunya.
Pengarang menciptakan karakter Melati, Bunda
dan Karang dalam sosok masing-masing yang tidak bisa dibedakan mana
yang lebih pantas disebut sebagai tokoh utama. Di sini benar-benar
terasa adanya tiga tokoh utama yang memiliki kedudukan sama sebagai agen
penderita, agen perubahan, dan agen pencerahan. Menyadarkan kita bahwa
manusia dalam kedudukannya sendiri-sendiri sebenarnya sedang melakoni
peran penting dalam kehidupan nyata.
Cerita ini menyuguhkan perjuangan hidup yang
tidak mudah yang dialami oleh anak-anak. Baik itu Karang yang yatim
piatu maupun Melati dengan segala kekurangannya. Namun ada satu kesamaan
antara mereka, anak-anak selalu punya janji masa depan yang lebih baik.
Penulis berulang kali mengungkapkan kalimat
yang mengingatkan pembaca untuk bersabar dan bersyukur “Hidup ini adil,
sungguh Allah Maha Adil, kitalah yang terlalu bebal sehingga tidak tahu
dimana letak keadilanNya, namun bukan berarti Allah tidak adil”.
Buku ini menyadarkan kita bahwa keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk meraih kesuksesan. Kekurangan yang kita alami merupakan ujian yang harus dihadapi dengan senyuman. Ketika kita mendapat ujian tersebut janganlah menyerah. Ketika kita dapat melewati ujian itu kita akan mendapatkan harta yang tak ternilai harganya
Cerita ini ditulis dalam gaya bahasa
sehari-hari yang tidak baku. Penggunaan berulang-ulang kosakata yang
tidak baku serta kalimat tambahan yang tidak perlu mengganggu kenyamanan
dalam membaca. Seperti penggunaan kata “ibu-ibu gemuk” yang artinya
menunjuk pada seorang ibu yang bertubuh subur dan kata “anak-anak” untuk
penunjukan kata benda seorang anak.
Pilihan penulis dalam penempatan setting dan
kegiatan pendukung dalam novel terasa kurang tepat. Dalam novel semua
tokoh digambarkan sebagai orang-orang muslim dengan segala aktivitas dan
atribut mereka, namun pada ending cerita penulis menciptakan suasana
pesta kembang api yang dirayakan pada tahun baru Imlek oleh masyarakat
termasuk para tokoh novel. Alih-alih menyebutkan secara jelas kota atau
negara terjadinya peristiwa dalam novel, sejak awal penulis hanya
menyebutkan tempat-tempat semu: “rumah di atas bukit”, “daerah jauh dari
ibukota”, “Tuan dan Bunda HK”. Jadi tidak terlihat jelas keberagaman
budaya atau mayoritas budaya penduduk yang ada di daerah tempat tinggal
tokoh Melati, sehingga kurang ada alasan tepat jika penulis dengan
tiba-tiba memasukkan salah satu kegiatan tahunan keluarga Melati adalah
merayakan tahun baru China.
Selamat membaca kisah lengkapnya di
buku moga bunda disayang allah dengan membeli buku tersebut di toko buku
terdekat, akan ada banyak hikmah yang bisa didapat lebih dari yang
tertulis dalam artikel ini. Dari
kisah ini terkandung pelajaran yang sangat dalam, diilhami true story
of Helen Keller. Helen tidak mendapatkan kesembuhan sama sekali dari
buta tulinya. Begitupun Melati. Namun mereka bisa memberikan dan
menghasilkan sesuatu yang tidak bisa dihasilkan oleh orang yang normal
seperti kita. Semangat dan keinginan kuat untuk mewujudkan cita-cita,
itulah kekuatan mereka. Kita tidak harus mendapatkan sesempurna apa
yang kita inginkan. Justru ketidak sempurnaan kisah kitalah yang
menjadikan kita bisa merasakan manisnya perjuangan dan makna dukungan
keluarga. Dan kita bisa merasakan ketulusan doa untuk Ibu yang tak
pernah putus cintanya.
Semoga resensi ini dapat bermanfaat untuk kalian semua ^-^
BalasHapusaamiin
BalasHapusoh, ya judul resensinya tidak ada.